Perkawinan Dan Perceraian Pegawai

1. Menjelaskan Regulasi/Peraturan Tentang Perkawinan





A. Pengertian Perkawinan

Dalam Undang-Undang Perkawinan (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974) telah ditentukan bahwa: “Perkawinan sah ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah  tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa yang  dilakukan  menurut  hukum masing-masing agamanya/kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan dicatat  menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

B. Dasar Hukum Perkawinan PNS
  • Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri  Sipil.
  • Surat Edaran Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 dan Nomor 48/SE/1990  tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah  Nomor 45 Tahun 1990 jo Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
C. Peraturan Perkawinan Pegawai

Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil sebagai mana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990.

a. Ketentuan Perkawinan Pegawai Negeri yang akan melangsungkan perkawinan pertama, wajib  memberitahukannya secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu berlangsung, hal ini berlaku juga bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi; Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.; Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah.

b. Ketentuan Perceraian Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat; Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam huruf diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki; Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambatlambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud. Pegawai Negeri Sipil dan atau Atasan yang melanggar tersebut pada huruf a, b, c diatas serta tidak melaporkan perceraiannya dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat, dapat dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Displin Pegawai Negeri Sipil.

D. Prosedur Pengajuan Perceraian yaitu:

1) Tahap I : Kepala Satuan Kerja, setelah menerima permohonan untuk melakukan perceraian dari Pegawai Negeri Sipil di Satuan Kerjanya, wajib melakukan pembinaan terhadap keduanya serta diupayakan untuk merujukan;

2) Tahap II : Dari hasil pembinaan tersebut, bila Pegawai Negeri Sipil dan atau Suami/Istrinya tetap berkeinginan untuk melakukan perceraian, maka Kepala Satuan Kerja melaporkan permohon perceraian tersebut kepada Bupati, dilampiri hasil pembinaannya;

E. Azas – Azas Atau Prinsip – Prinsip Yang Berkaitan Dengan Perkawinan
  • Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil;
  • Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya, dan tiap-tiap perkawinan harus di catat, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  •  Menganut azas monogami.
  • Calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat;
  • Mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alas an-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding pengadilan;
  • Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.

2. Mengidentifikasi Izin Perkawinan Pegawai


A. Laporan Perkawinan

Pegawai Negeri Sipil yang hendak melangsungkan perkawinan pertama wajib mengirimkan laporan perkawinan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki. Laporan perkawinan harus dikirimkan selambat – lambatnya 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal perkawinan. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi PNS yang duda / janda yang melangsungkan perkawinan lagi.

Laporan perkawinan dibuat rangkap tiga dan dilampiri :
  1. Salinan sah Surat Nikah /Akte Perkawinan  untuk tata naskah masing-masing instansi.
  2. Pas foto isteri/suami ukuran 3×4 cm sebanyak 3 lembar
  3. SANKSI, PNS yang tidak memberitahukan perkawinan pertamanya secara tertulis kepada Pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan, maka dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 (sekarang Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010).
Syarat PNS Pria Poligami
PNS Pria dapat melakukan poligami, akan tetapi tidak demikian halnya dengan PNS wanita yang tidak boleh berpoliandri serta tidak boleh menjadi salah satu istri pria yang berpoligami. Namun, untuk seorang PNS Pria yang akan berpoligami, ada syarat yang harus dipenuhi, sebagai berikut.
  1. PNS yang akan beristri lebih dari seorang, wajib mendapat izin tertulis lebih dahulu dari Pejabat.
  2. Setiap atasan yang menerima surat permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan kepada Pejabat.
  3. Setiap atasan yang menerima surat permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang, wajib menyampaikan kepada pejabat melalui saluran hirarki selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin tersebut.
  4. Setiap pejabat harus mengambil keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin tersebut.
  5. Izin untuk beristri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif.
1) Syarat alternatif (salah satu harus terpenuhi)
  • Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya, karena menderita sakit jasmani/rokhani.
  • Isteri mendapat cacat badan/penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan.
  • Isteri tidak dapat melahirkan keturunan setelah menikah sekurang-kurangnya 10 tahun.
 2) Syarat komulatif (semua harus terpenuhi)
  • Ada persetujuan tertulis secara iklas dari isteri dan disahkan atasannya.
  • PNS pria mempunyai penghasilan yang cukup.
  • PNS pria berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anaknya.

B. Sanksi
PNS dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 (sekarang Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010) bila:
  1. Beristri lebih dari seorang tanpa memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat.
  2. Tidak melaporkan perkawinanya yang kedua/ketiga/keempat kepada Pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan.
  3. PNS Wanita Tidak Diijinkan Menjadi Isteri Kedua,  Ketiga,  Keempat:
  4. PNS wanita tidak diizinkan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.
  5. Seorang wanita yang berkedudukan sebagai isteri kedua/ketiga/keempat dilarang menjadi PNS.
  6. PNS wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari pria bukan PNS wajib memperoleh ijin tertulis dari Pejabat dan memenuhi syarat sesuai Romawi V angka 3SE BAKN No. 08/SE/1983.

3. Mengemukakan Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Pegawai


A. Tata Cara Melangsungkan Perkawinan

1. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat perkawinan dalam Hukum Islam merupakan hal penting demi terwujudnya suatu ikatan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan. Rukun perkawinan merupakan faktor penentu bagi sahnya suatu perkawinan. Adapun syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh para subjek hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad perkawinan.

a. Rukun Perkawinan
Rukun perkawinan menurut Hukum Islam adalah wajib dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan. Karena dampak dari sah dan tidak sahnya perkawinan dapat mempengaruhi atau menentukan hukum kekeluargaan lainnya, baik dalam bidang hukum perkawinan itu sendiri, maupun di bidang hukum kewarisan.

Berikut ini beberapa rukun perkawinan yang harus dipenuhi sebagai faktor penentu sahnya suatu perkawinan:
  1. Adanya calon mempelai lelaki dan mempelai perempuan. Kedua calon mempelai harus dalam kondisi kerelaannya dan persetujuannya dalam melakukan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak.
  2. Adanya wali nikah. Kedudukan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai perempuan yang bertindak untuk menikahkannya. Yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam yakni muslim dan akil baligh.
  3. Adanya 2 orang saksi nikah. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang lelaki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tunarungu atau tuli.
  4. Adanya lafal Ijab dan Qobul. Pada prinsipnya akad nikah dapat dilakukan dalam bahasa apapun asalkan dapat menunjukkan kehendak pernikahan yang bersangkutan dan dapat dipahami oleh para pihak dan para saksi. Proses akad nikah dengan cara pengucapan Ijab dan Qobul itu dilakukan secara lisan. Namun, jika para pihak tidak memungkinkan untuk melalukan Ijab dan Qobul secara lisan karena sesuatu halangan tertentu, maka akad dapat dilakukan dengan menggunakan isyarat.
b. Syarat Perkawinan

Syarat perkawinan terdiri atas syarat yang ditentukan secara syariat Islam dan syarat yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan.      Syarat secara syariat Islam di antaranya di tentukan dalam al-Qur’an surah An-Nisaa ayat 22, 23, dan 24 yang menentukan larangan dilakukannya perkawinan karena adanya hubungan darah, hubungan semenda,hubungan sesusuan, dan larangan poliandri Selain itu, al-Qur’an juga melarang dilakukannya perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik dalam surah Al-Baqarah ayat 221.Demikian pula dalam surah Al-Mumtahannah ayat 10 yang menentukan larangan menikah dengan orang kafir.

2. Cara Melangsungkan Perkawinan

Sahnya perkawinan, menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan adalah apabila perkawinan itu dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Dengan demikian, maka sangat jelas bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menempatkan hukum agama sebagai hukum terpenting untuk menentukan sah atau tidak sahnya perkawinan.

Agama Islam menggunakan tradisi perkawinan yang sederhana, dengan tujuan agar seseorang tidak terjebak atau terjerumus ke dalam perzinaan. Tata cara yang sederhana itu nampaknya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Dari pasal tersebut sepertinya memberi peluang-peluang untuk mengikuti dan bahkan berpadu dengan hukum Islam dalam perkawinan. Selain itu disebabkan oleh kesadaran masyarakatnya yang menghendaki demikian. Salah satu tata cara perkawinan adat yang masih kelihatan sampai saat ini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang atau disebut nikah siri. Perkawinan ini hanya dilaksanakan di depan penghulu atau ahli agama dengan memenuhi syariat Islam sehingga perkawinan ini tidak sampai dicatatkan di kantor yang berwenang untuk itu.

Namun sebelum perkawinan dilaksanakan, kedua calon mempelai dianjurkan melakukan persiapan sebagai berikut:
a.Meminta pertimbangan. Bagi seorang lelaki sebelum ia memutuskan untuk mempersunting seorang wanita untuk menjadi isterinya, hendaklah ia juga minta pertimbangandari kerabat dekat wanita tersebut yang baik agamanya. Mereka hendaknya orang yang tahu benar tentang hal ihwal wanita yang akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan pertimbangan dengan jujur dan adil. Begitu pula bagi wanita yang akan dilamar oleh seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari kerabat dekatnya yang baik agamanya.

b. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah mereka saling cinta atau setuju dan apakah kedua orangtua mereka menyetujui atau merestui. Ini erat kaitannya dengan surat-surat persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orangtua yang belum berusia 21 tahun.
Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik menurut munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan perkawinan).

c. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang pembinaan rumah tangga hakdan kewajiban suami istri dan sebagainya.

d. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkan calon memepelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepada calon memepelai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid


Setelah melakukan persiapan, berikut beberapa tata cara melangsungkan sebuah perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Perraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

1. Pemeriksaan kehendak nikah.

a) Sesuai Pasal 3
Setiap orang yang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan Nikah ditempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut disebabkan sesuatu alasan yang penting, sehingga dapat diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

b) Sesuai Pasal 4
Pemberitahuan secara lisan tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.

c) Sesuai Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur,agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu. Surat persetujuan dan keterangan asal-usul.

d) Sesuai Pasal 6
Pegawai Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

Selain penelitian terhadap hal di atas Pegawai Pencatat Nikah meneliti pula terhadap:

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;

c. Izin tertulis/izin dari Pengadilan Agama sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;

e. Surat Dispensasi dari Pengadilan Agama yang dimaksud adalah bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon mempelai istri yang belum mencapai umur16 tahun.

2. Pengumuman kehendak nikah.
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Sesuai dengan Pasal 9, pengumuman tersebut ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
  1. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu.
  2. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
  3. Surat pengumuman itu selama 10 hari sejak ditempelkan tidak boleh diambil atau dirobek (Pasal 8 dan 9 PP 9/75 jo. Pasal PMA 3/75).
3. Pelaksanaan Akad Nikah
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah. Namun, bilamana dalam tenggang waktu satu bulan terhitung sejak pengumuman kehendak kawin, perkawinan tersebut tidak dilangsungkan maka perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan kembali kecuali setelah diulangi lagi pengumuman kembali untuk kedua kalinya seperti semula.

Sedangkan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Dan bagi mereka yang melangsungkan Perkawinan menurut Agama Islam, maka Akad Nikahnya dilakukan oleh wali Nikah atau yang mewakilinya.

4. Mendapatkan Akta Pekawinan.
Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

Adapun Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel